Doha — Pemerintah Qatar mengecam keras pelanggaran berulang yang dilakukan Israel terhadap perjanjian gencatan senjata di Jalur Gaza. Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani menilai tindakan militer Israel tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga tergolong sebagai bentuk terorisme negara.
Dalam sidang pembukaan Dewan Syura di Doha, Selasa (21/10), Sheikh Tamim menegaskan bahwa Israel telah mengubah Gaza menjadi wilayah yang “tidak layak dihuni” meski gencatan senjata telah diberlakukan sejak 10 Oktober. “Kami mengecam seluruh pelanggaran dan serangan Israel terhadap rakyat Palestina, terutama terhadap Gaza yang kini hancur akibat serangan berulang,” ujarnya, dikutip dari TRT World.
Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan sedikitnya 100 orang tewas dan 303 lainnya luka-luka akibat serangan Israel sejak kesepakatan gencatan dimulai. Qatar juga menyoroti pembangunan permukiman ilegal Israel di Tepi Barat serta upaya Yudaisasi kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur yang diduduki, sebagaimana dilansir Anadolu Agency.
Serangan ke Doha Disebut Langgar Hukum Internasional
Sheikh Tamim menuding Israel menyalahi norma hubungan antarnegara dengan melancarkan serangan udara ke Doha pada 9 September lalu. Serangan tersebut, kata dia, menargetkan delegasi Hamas yang sedang melakukan perundingan damai di bawah mediasi Qatar.
“Israel telah melanggar semua hukum internasional dengan menyerang negara mediator dan berupaya membunuh anggota delegasi,” tegasnya. Ia menyebut tindakan itu sebagai bentuk terorisme negara yang nyata.
Desak Dunia Internasional Bertindak
Emir Qatar menyerukan kepada masyarakat internasional agar meminta pertanggungjawaban Israel atas apa yang disebutnya sebagai genosida terhadap warga sipil Palestina. Ia mendesak dibentuknya mekanisme global yang menjamin kepatuhan Israel terhadap hukum humaniter internasional.
Qatar menilai pelanggaran Israel terhadap gencatan senjata tidak hanya merusak upaya mediasi perdamaian, tetapi juga memperpanjang penderitaan rakyat Gaza. Gencatan senjata tersebut sebelumnya diinisiasi melalui 20 poin kesepakatan yang disusun Presiden Amerika Serikat Donald Trump, mencakup pertukaran tahanan dan rencana pembangunan kembali Gaza tanpa keterlibatan langsung Hamas.
