ACEHSINGKIL – Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan empat pulau pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—sebagai bagian dari wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara, menuai polemik dan protes keras dari masyarakat Aceh. Jumat (30/05/2025).
Subkiyadi, Pemerhati isu kepulauan ini di Aceh, menilai keputusan tersebut mencederai semangat perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia yang telah disepakati dalam Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki tahun 2005.
“MoU Helsinki secara jelas menyebutkan batas wilayah Aceh mengacu pada peta 1 Juli 1956, yang mencakup keempat pulau tersebut. Ini bukan hanya masalah administratif, tapi menyangkut kepercayaan terhadap proses damai yang telah dibangun dengan susah payah,” kata Subkiyadi.
Ia juga mengutip Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan kewenangan khusus kepada Aceh dalam pengelolaan wilayah, termasuk penataan batas administratif.
Menurutnya, setiap perubahan batas wilayah Aceh wajib melalui konsultasi dengan Pemerintah Aceh dan harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
“Jika pemindahan wilayah dilakukan tanpa melibatkan Pemerintah Aceh dan DPRA, maka itu merupakan pelanggaran terhadap prinsip otonomi khusus yang diatur dalam Permendagri Nomor 141 Tahun 2017. Keputusan tersebut cacat hukum dan tidak sah,” tegasnya.
Lebih jauh, Subkiyadi meminta Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi keputusan Mendagri yang dinilai telah memicu keresahan masyarakat Aceh. Ia menilai keputusan tersebut mengabaikan fakta historis serta perjuangan rakyat Aceh dalam mempertahankan wilayahnya.
“Keputusan ini seperti mengulang kembali bentuk penjajahan era kolonial Belanda, tanpa menghargai sejarah dan kontribusi Aceh terhadap kemerdekaan Indonesia,” ujarnya.
Sebelumnya, Pemerintah Aceh disebut telah berkali-kali menyampaikan bukti-bukti hukum terkait kepemilikan keempat pulau tersebut. Namun, menurut Subkiyadi, hal itu tidak dijadikan dasar pertimbangan dalam penerbitan keputusan Mendagri.[]